Jakarta- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Jenderal Bina Adminstarai Kewilayahan (Ditjen Bina Adwil) telah menyiapkan rancangan kerja atau cetak biru terkait indikator atau penilaian pemerintah daerah terhadap ketahanan bencana.
Hal itu disampaikan Dirjen Bina Adwil Kemendagri, Safrizal ZA, saat menjadi narasumber dalam acara webinar bertema Journal Club: Butir ke-5 Deklarasi Yogyakarta hasil AMCDRR 2012 pada Rabu siang (1/9/2021).
Menurut Safrizal, cetak biru (blue print) ini dirasa penting, lantaran penanganan bencana bersifat luas, kompleks, multidisiplin ilmu serta melibatkan multipihak di dalamnya. Cetak biru tersebut adalah Disaster Resilience Index dan Fire Resilience Indeks. “Yang kita beri nama Dirli dan Firli,” kata Safrizal.
Dengan kerangka atau rancangan kerja tersebut, Kemendagri yang berkewajiban dalam penguatan regulasi kelembagaan dan organisasi, berharap pemerintah daerah dapat memberi perhatian serius terhadap mitigasi, hingga penanggulangan bencana di daerahnya masing-masing.
“Dengan Dirli dan Virli ini, maka kinerja pemerintahan daerah akan di uji,” harap Safrizal.
Safrizal juga menyebut cetak biru yang digagas pihaknya ini ditujukan untuk menjawab beberapa kekurangan terkait Standar Pelayanan Minimal (SPM) pemerintahan daerah dalam penanggulangan bencana.
“Pada hakikatnya kita belum melaksanakan ini (SPM_red) dengan full. Belum semuanya berhasil menerapkan standar pelayanan minimal dan ini adalah _never ending ever_. Usaha yang tak pernah berhenti,”
Dengan adanya cetak biru tersebut, Safrizal yakin, pemerintah pusat dapat memfasilitasi pemerintah daerah untuk melengkapi indikator untuk penyusunan kajian risiko bencana yang dibutuhkan untuk perencanaan pembangunan daerahnya. Dengan adanya indikator tersebut, diharapkan pemerintah daerah dapat memitigasi potensi bencana dengan pendekatan responsif. Bukan reaktif atau bertindak setelah terjadinya bencana.
“Kalau kita berikan penilaian, rating, kriteria. Nanti daerah akan belajar dari rating yang dimiliki. Kewajiban-kewajiban diantaranyanya adalah menaruh perencanaan pengelolaan bencana ini ke dalam perencanaan pembangunan daerah,” sambungnya.
“Hampir 100 persen, pemerintah daerah menaruh SPM ke dalam perencanaan. Tapi dari 100 persen jumlah daerah itu, penetapan SPM-nya beragam. Nah, akan kita kategorisai.
Nanti, kita akan berikan penilaian. Mana yang batter atau the best, kita maintenance. Mana yang medium, kita monitoring.
Mana yang less, yang kita bina,” harap Safrizal.
Karena itu, ia berharap semua pihak terkait dapat segera mempelajari dan memberikan masukan terhadap cetak biru yang telah dibuat tersebut. Sehingga, terwujud kerangka bersama dalam menerapkan standar-standar kinerja pemerintah daerah menyikapi penanggulangan bencana.
“Cetak biru ini menjadi kerangka bersama. Dimulai dengan penilaian resiko, kajian dan pendataan. Kemudian ada target secara periodik, perencana dan penganggaran. Dukungan pengelolaan dan realisasi maupun evaluasi kinerja,” ucap dia.
“Saya sudah create modulnya. Saya minta tolong, modul ini akan dikirimkan, untuk pelajari semua. Apakah ini terlalu rumit? Kalau terlalu rumit pasti peluang nya sulit dijalankan. Lalu yang kedua, tolong di monitor bersama sama. Kalau tidak bersama-sama tidaklah elok,” pungkasnya.