Jakarta- Indonesia saat ini memiliki 538 daerah otonom yang terdiri dari 34 provinsi, 411 kabupaten, dan 93 kota. Pembentukan daerah otonomi baru telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kini menjadi UU Nomor 23 tahun 2014. Pembentukan ini juga diatur oleh beberapa peraturan pemerintah terkait lainnya. Seiring berjalannya waktu, banyak usulan perihal pembentukan daerah otonom baru, baik setingkat kabupaten, kota, maupun provinsi.
Dalam rangka mengulas terkait otonomi daerah tersebut, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menggelar webinar bertajuk “Membaca Peluang Pembentukan Daerah Otonom Baru di Indonesia”, Sabtu (11/12/2021). MIPI menilai topik tersebut sangat penting untuk didiskusikan, sebagaimana yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) MIPI Baharudin Thahir saat membuka webinar tersebut.
Thahir menyampaikan, rangkaian dari penataan daerah otonom berkaitan dengan pembukaan daerah otonom baru. Dalam perjalanannya, penataan itu berkaitan dengan dinamika politik dan dinamika pemerintahan yang berada di level pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat.
“Bertemulah kepentingan daerah dengan masyarakat bahwa dibutuhkannya daerah-daerah otonom baru. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat sudah mengatakan untuk beberapa tahun ke depan, kita tidak membentuk (daerah otonom baru),” kata Thahir.
Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Valentinus Sudarjanto yang menjadi pembicara pertama pada diskusi itu menyampaikan, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tidak lain untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat, pemberdayaan masyarakat, pelayanan publik, dan peningkatan daya saing. Otonomi daerah jelasnya juga bertujuan untuk mengoptimalkan kinerja pemerintahan.
“Apa yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam hal tersebut? Pemerintah harus memperkuat dua aspek, yang pertama regulasi dan implementasi regulasi,” katanya.
Dia melanjutkan, terkait penataan daerah telah tercermin pada Bab VI dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Regulasi itu memuat pembentukan dan penyesuaian daerah, kemudian pemekaran dan penggabungan daerah.
Ia menekankan, terkait penataan daerah, pola pikir yang dibangun bukan hanya tentang pemekaran daerah saja, tetapi juga penggabungan daerah yang tidak efektif ketika berdiri sendiri. Langkah itu, kata dia, harus diatur sesuai dengan kapasitas daerah yang mengacu pada pertimbangan strategis nasional dan desain besar strategi penataan daerah.
Sementara itu, narasumber lainnya Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fachrul Razi membeberkan, fungsi DPD adalah memfasilitasi kaukus terkait penataan daerah dan calon Daerah Otonom Baru (DOB) bagi daerah yang memenuhi syarat. Menurutnya, penataan daerah ini penting, karena berdasarkan salah satu riset di DPD menunjukkan, upaya ini tidak berkaitan dengan potensi yang menimbulkan disintegrasi. Bahkan sebaliknya, penatatan ini dapat memperkuat integrasi politik dan integrasi nasional.
“Oleh karena itu, kita harapkan Direktur Penataan Daerah harus mensuport kaukus ini supaya kita juga sama-sama melibatkan teman-teman di daerah agar pemekaran ini perspektifnya itu perspektif bottom-up, bukan top-down,” terang dia.
Di sisi lain, narasumber terakhir Dosen Administrasi Publik FISIP Universitas Tadulako M. Nur Alamsyah menjelaskan terkait peluang pemekaran daerah di masa mendatang. Menurutnya, bangsa Indonesia dibangun dengan keberagaman. Salah satu titik temu keragaman tersebut yakni memilih desentralisasi sebagai jalan untuk mempertautkan.
Sebab, kata dia, desentralisasi diyakini akan membangun kultur integritas politik terhadap masyarakat dan akuntabilitas lokal pada pengelolaan di setiap daerah. Meski begitu, pemekaran bukan solusi satu-satunya yang bisa mewujudkan penataan di daerah.
“Dalam penataan daerah di Indonesia, ya kita sungguh-sungguh memang harus berhati-hati ,” tandasnya.